Tuesday, February 16, 2021

KISAH RASULULLAH SAW - Siri 22

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد


Hisyam bin Amr 


Hisyam bin Amr berjalan ulang-alik di depan rumahnya sambil berkata, "Tiga tahun sudah Bani Hasyim diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, pakcik dan makcik. Kalau tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka membawa makanan dengan sembunyi-sembunyi, Bani Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!"


Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah anggota bani Makhzum, tapi makciknya adalah Atikah binti Abdul Muthalib dari Bani Hasyim 


"Zuhair", tegur Hisyam. "Aku hairan engkau masih boleh tenang menikmati makanan, pakaian dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berjumpa dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling menikahkan! Aku bersumpah kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!"


Zuhair terperanjat. "Sebenarnya sudah lama persoalan ini meresahkan hatiku", kata Zuhair kemudian 


"Jadi apa lagi yang engkau tunggu?", tanya Hisyam


Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka harus mendapat sokongan dari yang lain. Kemudian, secara rahsia malam itu juga mereka menemui Mut'im bin Adi dari Bani Naufal, Abu Al Bakhtary bin Hisyam dan Zam'a bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka'bah 


Merobek Piagam 


Esok harinya, Zuhair mengelilingi Ka'bah tujuh kali seraya berseru, "Hai penduduk Mekah! Kamu semua sangat selesa makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak boleh membeli atau menjual sesuatu pun! Demi Allah, aku tidak akan diam sebelum piagam yang kejam ini aku tanggalkan!"


Ketika itu, Abu Jahal berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat, dia datang menghampiri sambil berteriak, "Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh ditanggalkan!"


"Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!",  balas Zam'a bin Aswad. "Sebenarnya dulu pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!"


"Zam'a benar!", Abu Al Bakhtary menyokong. "Dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menyokong untuk menetapkannya !"


"Zam'a dan Abu Al Bakhtary benar !", sahut Mut'im bin Adi. "Dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta"


"Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya !"


Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya menggigil menahan marah. "Kalian pasti sudah bersekongkol malam tadi !", tuduhnya 


"Kalian secara senyap berkumpul di tempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini !"


Perang mulut hampir ke kemuncaknya ketika Abu Thalib yang dari tadi diam di satu sudut, berjalan mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuatkan semua orang yang sedang bertengkar terdiam


Mereka memandang Abu Thalib dan menanti apa yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu 


"Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu", demikian kata Abu Thalib


Anai-anai yang Diutus Allah SWT


"Muhammad menyampaikan kepadaku bahawa Allah telah mengutus anai-anai untuk memusnahkan piagam itu", kata Abu Thalib dengan tenang. Orang ramai saling memandang antara satu sama lain dengan rasa hairan bercampur takjub. Benarkah khabar ini ?


Abu Thalib berkata lagi, "Jika anak saudaraku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami yang menanggung pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat sewenang-wenangnya terhadap kami"


Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dengan perkataannya sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati jika perkataan Rasulullah SAW tidak benar. Semua orang terdiam. Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah SAW


"Baiklah, engkau adil", kata mereka. "Kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib"


Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka'bah dan menemui bahawa yang dikatakan Rasulullah SAW memang benar. Anai-anai telah memakan isi piagam itu, kecuali sebahagian kecil yang bertuliskan, "Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah)"


Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah SAW dan keluarganya kini dapat kembali berada di tengah-tengah masyarakat seperti semula


Apakah kini Rasulullah SAW dan para pengikutnya boleh bernafas lebih selesa? Apalagi adanya kekuasaan Allah SWT melalui anai-anai, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tidak! Justeru kekufuran mereka semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT


وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ


Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus 

(Surah Al-Qamar (54:2)


Bulan-Bulan Suci 


Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah SAW dan kaum muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ke tujuh, Rajab (yang dihormati), kemudian bulan ke sebelas, Dzulqa'dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan haji) 


Tetap Berdakwah 


Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab Dzulqa'dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah SAW untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan

No comments:

Post a Comment